Gunung Agung, Bencana dan Tahayul
Ketika Gunung Agung mulai erupsi magmatic dengan mengeluarkan
abu vulkanik Sabtu (26 Nopember 2017), informasi menyebar dengan cepat di media
sosial. Kepulan abu yang membumbung hingga mencapai 3000 an meter menghasilkan
efek dramatis. Gambar kepulan abu ini kemudian diberi interpretasi citra
bermacam-macam, seperti misalnya ada yang melihatnya menyerupai kepala Tualen
dan ada juga menyerupai garuda. Yang paling fenomenal tentu adalah kepulan abu
dengan cahaya kemerahan yang menyerupai tubuh dan kepala raksasa bermata merah.
Netizen pun kemudian heboh, ramai memperbincangkannya. Ada yang percaya adapula
yang tidak.
Tidak hanya terjadi pada letusan Gunung Agung. Pada letusan
Gunung Merapi pada tahun 2010, dimana aliran wedhus gembel (awan panas) nya
memakan korban sang juru Kunci Mbah Maridjan, penafsiran atas bentuk kepulan
asap dan debu letusan juga mengarah kepada bentuk-bentuk personal yang mistis.
Dalam letusan Gunung Merapi saat itu, disebutkan kepulan awan dan abu membentuk
kepala tokoh Mbah Petruk. Publik pun kemudian menjadi demikian heboh. Ada yang
percaya adapula yang tidak.
Yang membuat fenomena mengait-ngaitkan bentuk kepulan erupsi
Gunung Agung menyerupai bentuk tertentu seperti tokoh atau mahluk gaib adalah
akibat dari masih kuatnya masyarakat dicengkeram oleh pola berpikir yang
dipenuhi tahayul. Fenomena alam terutama erupsi gunung kemudian selalu
dikait-kaitkan dengan kejadian mistis. Selalu saja dianggap bahwa dibalik
sebuah fenomena alam, bekerja tangan-tangan gaib yang berkesadaran dan memiliki
personalitas.
Gunung dalam kepercayaan masyarakat mistis merupakan
representasi dari kekuatan adi kodrati. Gunung dipercayai memiliki roh bahkan
memiliki personalitas sehingga ada yang menyebutnya sebagai ibu atau juga ayah.
Jika ditelusuri, munculnya kepercayaan yang sering disebut sebagai naturisme atau anisme ini tidak lepas dari
ketakutan yang dihadapi manusia atas kekuatan bencana yang dapat ditimbulkan
dari letusan gunung. Benda yang menjulang tinggi memuntahkan material yang
menghancurkan kehidupan, menempatkan gunung sebagai sosok yang pemarah. Namun
disisi lain, gunung juga adalah sosok lembut pemaaf sebagai pemberi kehidupan
dimana kesuburan tanah bersumber dari abu vulkanisnya dan dengan hutan
disekitar gunung yang menjadi sumber air sangatlah menghidupi.
Kepercayaan manusia atas posisi gunung yang demikian mistis,representasi
dari kekuatan yang menghancurkan sekaligus menghidupi memunculkan penghormatan
yang tinggi. Penghormatan ini kemudian diwujudkan dalam bentuk ritus-ritus sakral
penuh mistisme sebagai bentuk pemujaan yang biasanya selalu akan diikuti dengan
persembahan sebagai wujud pengorbanan suci. Melalui ritus-ritus suci, elemen
penghancuran diharapkan dapat diredam dan elemen penghidupan yang lebih sering dapat
dinikmati manusia.
Perkembangan kemampuan berpikir manusia dengan ilmu pengetahuannya
pada tahap selanjutnya berhasil mengurai misteri dari sosok mistis bernama
gunung meski tidak seluruhnya. Manusia
dengan teknologinya misalnya telah mampu “membaca” tanda-tanda kapan erupsi
akan terjadi. Berbagai alat telah dikembangkan tidak hanya untuk memberi
peringatan bahwa bencana akan menjelang, melainkan juga bagaimana bencana dapat
di kelola dengan sebaik-baiknya guna meminimalisir kerugian. Pengungkapan sebagian
misteri-misteri dari gunung dengan logika ilmu pengetahuan memampukan manusia
menghindari efek buruk dari bencana. Manusiapun semestinya tidak lagi hanya
tergantung pada ritus-ritus mistis nan sakral untuk dapat “mengendalikan”
kekuatan dahsyat dari gunung.
Yang paling penting disadari bahwa, penemuan manusia dengan
ilmu pengetahuannya dalam mengurai misteri dibalik kekuatan Gunung yang dahsyat
tidak bijak pula lantas meniadakan pemahaman bahwa gunung tetap harus
dihormati. Artinya, manusia tidak boleh jumawa dengan hanya menempatkan bencana
erupsi gunung sebagai kejadian alam saja. Bencana juga adalah kejadian
spiritual namun tidak lagi dalam ranah mistis melainkan kemanusiaan.
Dalam bahasa sederhananya, ketika gunung meletus, manusia
tidak lagi perlu terlalu sibuk mencari-cari jawaban atas pertanyaan mengapa
gunung bisa meletus. Apakah karena roh dibalik gunung itu marahh akibat manusia
terlalu banyak berbuat dosa? Janganlah mengait-ngaitkan bencana gunung meletus
karena agama yang diyakini oleh mayoritas manusia disekitar gunung. Tidaklah
bijak juga kalau sibuk mencari-cari representasi personal mistis dari kepulan
abu vulkanik, kilatan api dipuncak gunung atau menganggap lahar sebagai
perwujudan dari roh suci yang harus disambut dengan ritus sakral.
Bencana alam harusnya lebih dipahami secara spiritual dalam
konteks kemanusiaan, dimana penyelamatan atas kehidupan jauh lebih penting.
Jika lahar atau awan panas jelang menerjang, selamatkanlah diri. Ketika
terdapat sesama yang menjadi pengungsi berilah bantuan agar kesulitannya dapat
dikurangi. Jika nanti bencana telah reda, bangun bersama kembali kehidupan. Spiritual
kemanusiaan jauh lebih tinggi daripada spiritual mistis. Spritual kemanusiaan menjadikan
manusia lebih menghargai kehidupan karena dengan hidup barulah manusia dapat
secara sempurna melakukan pengorbanan sucinya sebagai wujud dari spiritulisme mistis.
Komentar