Apakah Jurnalisme itu Diajarkan?
“Fuck Harvard”, demikian kata-kata yang dilontarkan berulang
kali oleh kawan-kawan Jay Bahadur, penulis buku “The Pirates of Somalia” ketika
menyambutnya di Rumah orang tuanya di Kanada sepulang dari Somalia. Bahkan tidak hanya kata-kata, di
kaos yang mereka kenakan juga tertulis besar-besar ; “Fuck Harvard”.
Itulah sepenggal adegan bagian terakhir film “The Pirates of
Somalia” yang menceritakan kisah nyata Jay Bahadur, seorang pemuda berkebangsaan Kanada yang sangat ingin
menjadi jurnalis dan meyakini bahwa cita-citanya itu hanya akan tercapai jika
ia bisa kuliah di jurusan jurnalistik di Universitas Harvard.
Namun ketika bertemu secara tak sengaja dengan Seymour
Tolbin, pensiunan jurnalis senior, Jay disadarkan bahwa pendidikan jurnalis di
Harvard University takkan bisa menjadikannya jurnalis hebat. Tolbin dengan
tegas mengatakan, jurnalisme itu tidaklah diajarkan tetapi dilahirkan.. “Jika
kamu ingin menjadi jurnalis hebat datanglah ketempat yang menantang” kata
Tolbinn. Al Pacino yang memerankan Tolbin dengan suskes memainkan ekspresi meyakinan dan berteriak lantang “Fuck
Harvard”.
Tolbin berhasil memprovokasi Jay yang akhirnya pergi ke
Somalia dan bertekad membuat liputan jurnalistik yang akan dijadikannya buku.Tidak satupun jurnalis dari negara barat yang berani mendatangi
Somalia karena dikenal sebagai negara yang sangat miskin, dominan muslim dan penuh
pertikaian bersenjata. Selain itu Somalia sangat dikenal karena keberadaan Bajak
Laut yang dalam pandangan negara-negara barat seolah-olah dibiarkan saja oleh pemerintahan Somalia.
Kenekatan Jay Bahadur yang kurang lebih 6 bulan lamanya
berada di Somalia berbuah hasil, dimana buku tentang bajak laut yang disusunnya
kemudian mendapat perhatian dunia. Meski kehebatannya ini juga sebenarnya
sedikit berbau keberuntungan karena ketika di masa-masa ia merasa putus asa karena bukunya tidak diterima oleh penerbit dan sedang
kehabisan uang, terjadi peristiwa pembajakan Kapal Laut asal Amerika oleh
Pembajak Somalia. Perhatian dunia tercurah ke Somalia, karena pembebasan
pembajakan oleh tentara Ameriksa tersebut
mengakibatkan 3 orang pembajak tewas dan para pembajak bersumpah akan membunuh
siapapun warga amerika yang mereka temui. Jay Bahadur yang sedang berada di
Somalia pun dianggap sangat terancam dan namanya banyak disebut-sebut di
dalam pemberitaan media. Maklum Jay mungkin satu-satunya orang barat yang ada di
Somalia ketika itu. Meski berulang kali ia mengatakan kalau ia bukan orang Amerika tetapi orang Kanada. Tapi mana mungkin pembajak Somalia bisa membedakan mana orang Amerika mana orang Kanada.
Buku Jay Bahadur menjadi salah satu buku terlaris. Banyak
pihak yang memerlukan informasi mengenai Bajak Laut Somalia yang kini dianggap
menjadi ancaman serius di perairan Afrika. Selain itu, karya Jay Bahadur juga
dianggap membuka mata dunia tentang Somalia dalam perspektif yang berbeda.
Jay
Bahadur menjelma menjadi jurnalis yang luar biasa dan tentunya tanpa harus
kuliah di jurusan Jurnalistik Universitas Harvard
Saya sangat terkesan dengan film yang dirilis di Amerika 8
Desember 2017 ini karena menjawab salah satu pertanyaan tentang apakah jurnalisme itu ilmu yang dapat diajarkan di lembaga-lembaga penddidikan? Pertanyaan ini
sering muncul dipikiran saya, karena dalam pengalaman saya bergelut di dunia
media massa, saya sering mendengar cerita bahwa tidaklah mudah untuk menemukan jurnalis yang benar-benar handal.
Bahkan perusahaan-perusaaan media massa sering mengeluhkan betapa
sulitnya mencari seorang untuk bidang pekerjaan sebagai jurnalis.
Masalah kesulitan mendapatkan jurnalis handal ini tentu
menjadi sedikit tidak wajar mengingat di perguruan tinggi yang ada di
Indonesia, sudah sangat banyak yang membuka jurusan Ilmu Komunikasi. Terlebih
lagi peminat di jurusan ilmu komunikasi ini termasuk sangat diminati mahasiswa. Seharusnya perusahan media
tidak akan kesulitan mencari jurnalis jika saja lulusan dari jurusan Ilmu
Komunikasi tersebut memang diajarkan menjadi jurnalis handal.
Ungkapan “Fuck Harvard” dalam film “The Pirates of Somalia”
jika di konteks kan dengan kemampuan jurnalis, maka jelas yang dimaksudkan
bahwa untuk menjadi seorang jurnalis, bukan pendidikan yang menjadi faktor
utama. Kecerdasan seorang jurnalis haruslah dibarengi dengan keberanian. Bahkan
keberanian menjadi faktor penentu jika seseorang ingin menjadi jurnalis hebat.
Ini tidak lepas kalau fakta-fakta yang akan diungkap oleh jurnalis hebat adalah
sesuatu yang sedang dilindungi oleh kekuasaan dengan ancaman kekerasan bahkan
pembunuhan. Atau kalau tidak, fakta-fakta tersebut berada di wilayah-wilayah
yang berbahaya.
Selain itu, jurnalis hebat tentulah harus memiliki naluri
yang kuat untuk menentukan realitas manakah yang memang layak untuk diangkat menjadi berita atau tulisan.
Informasi apakah yang sebenarnya sangat dibuutuhkan oleh publik dan informasi itu akan
memberi dampak bagi kepentingan yang luas. Naluri ini tidak bisa diajarkan di
bangku kuliah melainkan diasah melalui pergulatan idealisme didalam pikiran dan
kehidupan sehari-hari. Ini biasanya didapatkan dari proses panjang kehidupan,
melalui membaca, berdiskusi, bergelut langsung dengan realitas. Selain itu
seseorang yang dapat menjadi jurnalis handal memiliki watak kritis, gelisah
saat melihat realitas yang tidak sesuai harapan.
Maka, mungkin benar kata Seymour Tolbin, bahwa jurnalisme
itu tidaklah dapat diajarkan. Ia tumbuh
dalam diri yang selalu gelisah terutama jika melihat ketidakadilan.
Semarang 3 Desember 20
Komentar
The 의정부 출장안마 legendary '60s Strip, a new 청주 출장샵 Las Vegas 남양주 출장마사지 hotel, 광주 출장샵 on the Las Vegas 성남 출장마사지 Strip in front of the world-famous "Sega Dreamcast" sound stage.